Kata pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul GAYA
KEPEMIMPINAN PRESIDEN DI INDONESIA. Penulisan makalah ini merupakan salah satu
tugas yang diberikan dalam mata kuliah Kepemimpinan.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan
makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami Supriatno, Spd, Msi yang telah memberikan
tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Bandung , 13 Mei 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia, sebuah
negara kepulauan yang memiliki
sejarah cukup panjang sebelum menjadi bentuknya seperti sekarang ini. Walaupun
masih jauh lebih muda jika di bandingkan dengan negara kekaisaran seperti China
atau Jepang dan kerajaan Inggris yang telah mencapai peradaban sekitar 500
bahkan 1000 tahun silam.
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang memiliki berbagai macam budaya, suku bangsa, etnis dan
bahasa. Sehingga implikasinya, Indonesia harus memiliki seorang pemimpin yang
mampu menyatukan berbagai macam perbedaan yang ada di dalamnya. Makalah ini di
buat untuk memenuhi salah satu tugas dari mata
kuliah Kepemimpinan yang akan
membahas mengenai sosok-sosok di balik berdirinya negara Indonesia, khususnya
para pemimpin yang pernah atau sedang menjabat sebagai presiden Republik
Indonesia serta membahas mengenai karakteristik dan sisi humanisasi presiden
tersebut.
Presiden pertama
sekaligus Bapak proklamator Indonesia adalah Ir. Soekarno atau lebih di kenal
sebagai “Bung Karno” yang memimpin Indonesia sejak 1945-1966 yang kemudian di
gantikan oleh Soeharto yang berkasa di Indonesia selama kurang lebih 32 tahun
(1966-1998). Setelah berakhirnya rezim Soeharto, Indonesia di pimpin oleh B.J.
Habibie yang memerintah kurang dari 1 tahun dan di gantikan kepemimpinannya
oleh presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian juga di gantikan oleh Megawati Soekarnoputri
yang merupakan presiden wanita pertama di Indonesia hingga kini kepemimpinan di
pegang oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang menjalani masa kepemimpinan
periode kedua.
Dalam makalah ini, kami
mencoba menuliskan sisi-sisi yang bukan
hanya sisi politik seorang presiden tetapi juga sisi manusiawi dari sosok
tersebut. Karena, tidak dapat di pungkiri bahwa kepribadian dan karakteristik
seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan atau tindakan yang di
ambilnya. Selain itu, kami juga mencoba menjelaskan bahwa presiden pun seorang
manusia yang tidak akan lepas dari kesalahan dan kesubjektifannya dalam
mengambil suatu tindakan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Lalu
sekarang pertanyaannya, bagaimanakah gaya kempimpinan dari keenam Presiden Indonesia, bagaimanakah gaya kepemimpinan seorang Ir. Soekarno ,
Soeharto, B.J.
Habibie , Abdurrahman Wahid ,Megawati, dan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Gaya
kepemimpinan ini penting karena ia akan menentukan corak Pemerintahan, ritme
jalannya penyelenggaraan negara, besar pengaruhnya dalam melaksanakan
kebijakan-kebijakan atau program yang telah ditetapkan. Gaya kepemimpinan
seseorang juga berpengaruh dalam hubungan dengan lingkungan terdekat, misalnya
dalam kaitan hubungan antara presiden dan wakil presiden, serta hubungannya
dengan para menteri, bahkan sampai dengan pihak-pihak di luar negeri (ibid.)
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah
· Melatih
mahasiswa menyusun makalah dalam upaya lebih meningkatkan pengetahuan dan
kreatifitas mahasiswa.
· Agar mahasiswa
lebih memahami dan mendalami pokok bahasan khususnya tentang kepemimpinan.
1.4 METODE PENULISAN
Dari banyak metode yang penulis ketahui, penulis menggunakan metode
kepustakaan. Pada zaman modern ini metode kepustakaan tidak hanya berarti pergi
ke perpustakaan tapi dapat pula dilakukan dengan pergi ke warung internet
(warnet). Penulis menggunakan metode ini karena jauh lebih praktis, efektif,
efisien, serta sangat mudah untuk mencari bahan dan data – data tentang topik
ataupun materi yang penulis gunakan untuk karya tulis ini.
1.5 RUANG LINGKUP
Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan yang kami miliki maka ruang
lingkup makalah ini terbatas pada pembahasan mengenai Gaya Kepemimpinan
Presiden Di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAKIKAT KEPEMIMPINAN
Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi,
perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin,
kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan
yang berkaitan satu dengan lainnya.
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa
diantaranya :
· Menurut Drs.
H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang
kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari
pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
· Menurut Robert
Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk
mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab,
supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
· Sedangakn
menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang
mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas
utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
·
Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan
sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang –
orang yang dipimpinnya.
·
Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu
membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang
dibimbingnya.
·
Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang
– orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu
tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala
yang terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai
pemimpin, dapat kami simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat
amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau
mengatur orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan
memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.
Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya.”The
art of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing
obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish
the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi dan menggerakkan
orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek,
dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.
Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu
pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut
memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin
bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin
yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya,
keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang
mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang
akan diterapkan.
Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi atau dalam hal ini
di pemerintahan tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat
penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi/pemerintahan yang bersangkutan.
Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
- Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi
kebijaksanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
- Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan
planning, organizing, staffing, directing, commanding, controling, dsb.
2.2 Teori Kepemimpinan
Teori
kepemimpinan membicarakan bagaimana seorang menjadi pemimpin; atau bagaimana
timbulnya seorang pemimpin. Ada beberapa teori tentang kepemimpinan,
diantaranya ialah:
1.
Teori Kelebihan, teori ini beranggapan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin
apabila ia memiliki kelebihan dari para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin mencakup 3 (tiga) hal, yaitu:
a.
Kelebihan ratio: ialah kelebihan dalam menggunakan pikiran, kelebihan dalam pengetahuan
tentang hakikat tujuan dari organisasi, dan kelebihan dalam memiliki
pengetahuan tentang cara-cara menggerakkan organisasi, serta dalam pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat. Dengan kelebihan ratio diharapkan seorang
pemimpin mampu mengatasi segala macam persoalan yang dihadapi oleh organisasi.
Pimpinan merupakan tumpuan dari para pengikutnya.
b.
Kelebihan rohaniah: berarti seorang pemimpin harus mampu menunjukkan keluhuran
budi pekertinya kepada para bawahan. Seorang pemimpin harus mempunyai moral
yang tinggi karena pada dasarnya pemimpin merupakan panutan para pengikutnya.
Segala tindakan, perbuatan, sikap dan ucapan hendaknya menjadi suri teladan
bagi para pengikutnya.
c.
Kelebihan badaniah: berarti seorang pemimpinan hendaknya memiliki kesehatan
badaniah yang lebih dari para pengikutnya sehingga memungkinkan untuk bertindak
dengan cepat. Akan tetapi masalah kelebihan badaniah ini dapat kita ambil
contoh, misalnya kepemimpinan Panglima Besar Jendral Soedirman, pada jaman
revolusi. Meskipun dalam keadaan sakit, beliau mampu memimpin perang gerilya
dan ia sangat disegani. Hal ini disebabkan oleh karena kewibawaannya dalam
memimpin anak buahnya.
2. Teori Sifat
Pada
dasarnya teori sifat sama dengan teori kelebihan. Teori ini menyatakan bahwa
seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang
lebih daripada yang dipimpin yang dipimpin. Di samping memiliki tiga macam
kelebihan (ratio, rohaniah, dan badaniah), hendaknya seorang pemimpin mempunyai
sifat-sifat yang positif sehingga para pengikutnya dapat menjadi pengikut yang
baik, dan memberikan dukungan kepada pemimpinnya. Sifat-sifat kepemimpinan yang
umum, misalnya bersifat adil, suka melindungi, penuh percaya diri, penuh
inisiatif, mempunyai daya tarik, energik, persuasif, komunikatif dan kreatif.
Di
masa sekarang, di samping harus memiliki sifat-sifat seperti yang telah
diuraikan di atas, pemimpin diharapkan juga mempunyai sifat mental yang siap
membangun. Mukti Ali (saat masih menjabat sebagai Menteri Agama RI) menyatakan
ada ciri-ciri tertentu dari mental yang siap membangun, yaitu:
·
Suka bekerja keras
·
Sabar menderita dan menghadapi kesulitan untuk mencapai
tujuan
·
Bersifat terbuka, suka menerima ide-ide baru karena salah
satu sifat dari masyarakat ialah selalu berubah.
·
Mau bekerja sama dengan pihak-pihak lain (perseorangan,
badan-badan atau instansi-instansi) yang mempunyai ide-ide baru dan baik.
·
Berani melakukan eksperimen. Kalau tidak berani melakukannya
maka tidak akan pernah timbul ide-ide baru.
·
Hemat. Tidak boros.
·
Teliti dalam pekerjaan.
·
Jujur.
·
Bersifat mau berbakti atau mempunyai dedikasi.
·
Suku rukun, antara lain rukun dalam hubungan antar agama.
Kerukunan adalah salah satu prasyarat bagi pembangunan.
3. Teori Keturunan
Teori keturunan disebut juga teori
pembawaan lahir. Ada juga yang menyebut teori genetis. Menurut teori keturunan,
seseorang dapat menjadi pemimpin adalah karena keturunan atau warisan. Karena
orangtuanya seorang pemimpin maka anaknya otomatis akan menjadi pemimpin
menggantikkan orangtuanya. Hal ini berarti, seolah-olah menjadi pemimpin karena
ditakdirkan. Pada zaman penjajahan Belanda, teori ini sering menjadi kenyataan.
Misalnya, apabila ayahnya menjadi bupati, maka anaknya akan menjadi bupati
menggantikan orangtuanya. Pada abad modern dewasa ini, teori ini hanya terdapat
pada negara-negara yang berbentuk monarki (kerajaan), dimana kedudukan sebagai
raja diperoleh karena warisan atau keturunan.
4. Teori Kharismatis
Teori kharismatis menyatakan bahwa
seseorang menjadi pemimpin karena orang tersebut mempunyai kharisma (pengaruh)
yang sangat besar. Kharisma itu diperoleh dari Kekuatan Yang Maha Kuasa. Dalam
hal ini terdapat suatu kepercayaan bahwa orang itu adalah pancaran dari Zat
Tunggal, dari Tuhan Yang Esa, sehingga dianggap mempunyai kekuatan ghaib
(supranatural power). Pemimpin yang bertipe kharismatis biasanya memiliki daya
tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar. Tokoh-tokoh atau para
pemimpin yang mempunyai tipe kharismatis, misalnya: Panglima Besar Jendral
Sordirman, Ir. Sukarno, John F. Kennedy, Nehru, dan lain-lain.
5. Teori Bakat
Teori bakat disebut juga teori
ekologis, yang berpendapat bahwa pemimpin itu lahir karena bakatnya. Ia menjadi
pemimpin karena memang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin. Bakat
kepemimpinan itu harus dikembangkan, misalnya dengan memberi kesempatan orang
tersebut menduduki suatu jabatan.
6. Teori Sosial
Teori sosial beranggapan bahwa pada
dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin. Setiap orang mempunyai bakat
untuk menjadi pemimpin asal dia diberi kesempatan. Setiap orang dapat dididik
menjadi pemimpin karena masalah kepemimpinan dapat dipelajari, baik melalui
pendidikan formal maupun melalui pengalaman praktek. Yang menjadi masalah
adalah apakah orang yang bersangkutan mendapat kesempatan atau tidak. Banyak
orang yang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin, tetapi kesempatan tidak
pernah diberikan kepadanya. Sebaliknya, ada sementara pejabat yang sebenarnya
tidak mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin, tetapi ia mendapat kesempatan
untuk memimpin. Apabila orang itu dalam menjalankan kepemimpinan tidak mau
mempelajari ilmu kepemimpinan atau ilmu manajemen maka ia akan memperoleh
cara-cara mempengaruhi orang lain dan bagaimana teknik-teknik kepemimpinan yang
baik.
2.3 Tipe-Tipe Kepemimpinan
Yang dimaksud dengan tipe
kepemimpinan adalah gaya atau corak kepemimpinan yang dibawakan oleh seorang
pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Gaya seorang pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor
pendidikan, faktor pengalaman, faktor usia, dan faktor karakter, tabiat atau
sifat yang ada pada diri pemimpin tersebut. Orang yang ambisius untuk menguasai
setiap situasi, apabila menjadi pemimpin akan bersifat otoriter. Orang yang
mempunyai sifat kebapakan, apabila menjadi pemimpin akan menjalankan
kepemimpinan yang bertipe paternalistik. Pemimpin yang tidak menguasai bidang
tugas yang menjadi wewenangnya akan menyerahkan segala sesuatunya kepada para
bawahan, sehingga gaya kepemimpinannya bersifat laisser faire.
Dari berbagai leteratur dapat
ditemukan berbagai tipe kepemimpinan, anatara lain:
1)
Tipe Otokratis
Otokratis berasal dari kata otokrat,
dari kata autos dan kratos. Autos berarti sendiri, dan kratos berarti kekuatan
atau kekuasaan (power). Jadi kepemimpinan otokratis adalah kepemimpinan yang
mendasarkan kepada suatu kekuasaan, kekuatan yang melekat pada dirinya. Hal ini
berarti seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai kekuatan atau kekuasaan
(power).
Ciri-ciri kepemimpinan yang bertipe
otokratis antara lain:
·
Mengandalkan kepada kekuatan atau kekuasaan yang melekat
pada dirinya
·
Menganggap dirinya yang paling berkuasa (kuasa tunggal)
·
Menganggap dirinya paling mengetahui segala macam persoalan,
orang lain dianggap tidak tahu.
·
Keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak, tidak
mengenal kompromi, sehingga ia tidak mau menerima saran dari bawahan. Ia bahkan
tidak memeberi kesempatan kepada bawahan untuk memberikan saran, pendapat atau
ide.
·
Keras dalam mempertahankan prinsip.
·
Jauh dari para bawahan.
·
Lebih menyukai bawahan yang bersikap “yesman”, “abs” (asal
bapak senang).
·
Perintah-perintah diberikan secara paksa.
·
Pengawasan dilakukan secara ketat agar perintah benar-benar
dilaksanakan.
2)
Tipe Laisser Faire
Seperti telah diuraikan diatas, tipe
laisser faire pada umumnya dijalankan oleh pemimpin yang tidak mempunyai
keahlian teknis. Tipe laisser mempunya ciri-ciri antara lain:
·
Memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para bawahan untuk
melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan bidang tugas
masing-masing.
·
Pimpinan tidak terlibat dalam kegiatan sehingga pemimpin
tidak ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelompok.
·
Semua pekerjaan dan tanggungjawab dilimpahkan kepada
bawahan.
·
Tidak mampu mengadakan koordinasi dan pengawasan yang baik.
·
Tidak mempunyai wibawa sehingga ia tidak ditakuti apalagi
disegani oleh bawahan.
·
Secara praktis pemimpin tidak menjalankan kepemimpinan
sehingga ia hanya merupakan simbol belaka.
Berdasarkan ciri-ciri di atas,
pemimpin dengan tipe laisser faire bukanlah pemimpin dalam arti sebenarnya.
Seorang pemimpin dengan cara apapun diharapkan dapat menggerakkan bawahan
sehingga tujuan oeganisasi dapat tercapai. Cara yang terbaik ialah
mempengaruhi, bukan dengan menakut-nakuti.
3)
Tipe Paternalistik
Tipe peternalistik adalah tipe
kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Pemimpin bertindak sebagai seorang bapak
yang selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan dalam batas-batas
kewajaran.
Ciri-ciri tipe paternalistik antara
lain:
·
Pemimpin bertidak sebagai seorang bapak.
·
Memperlakukan bawahan sebagai orang yang belum dewasa.
·
Selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan yang
kadang-kadang terlalu berlebihan.
·
Keputusan ada ditangan pemimpin, bukan karena pemimpin ingin
bertindak secara otoriter, tetapi karena keinginan dari pihak pimpinan yang
ingin selalu memberi kemudahan kepada bawahan. Oleh karena itu para bawahan
jarang-jarang bahkan sama sekali tidak memberikan saran kepada pimpinan. Pihak
pimpinanpun jarang meminta saran dari bawahan.
·
Karena keputusan ada ditangan pimpinan, maka pimpinan
menganggap dirinya yang paling mengetahui segala macam persoalan.
4)
Tipe Militeristis
Tipe Militeristis tidak hanya
terdapat dikalangan militer saja. Tetapi banyak pemimpin instansi (non-militer)
yang menerapkan kepemimpinan dengan tipe militeristis. Tipe militeristis
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·
Dalam mengadakan komunikasi, lebih banyak mempergunakan
saluran formal.
·
Dalam menggerakkan bawahan lebih banyak menggunakan sistem
komando/perintah, baik perintah itu secara lisan maupun secara tertulis.
·
Segala sesuatu bersifat formal
·
Disiplin yang tinggi, kadang-kadang bersifat kaku.
·
Karena segala sesuatunya melalui perintah, maka komunikasi
hanya berlangsung satu arah sehingga bawahan tidak diberi kesmpatan untuk
mengemukakan pendapat.
·
Pimpinan menghendaki bawahan tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat.
·
Pimpinan menghendaki bawahan patuh terhadap semua perintah
yang diberikannya.
5)
Tipe Demokratis
Tipe demokratis jauh berbeda dengan
tipe-tipe yang telah kita bicarakan. Pemimpin yang bertipe demokratis selalu
berada di tengah-tengah para bawahan sehingga ia terlibat dan berpartisipasi
aktif dalam kegiatan organisasi.
Kepemimpinan dengan tipe demokratis
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berpartisipasi
aktif dalam kegiatan organisasi.
b. Bersifat
terbuka.
c. Bawahan diberi
kesempatan untuk memberikan saran-saran, ide-ide baru
d. Dalam mengambil
keputusan lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat, daripada keputusan yang
bersifat sepihak. Apabila musyawarah untuk mufakat tidak berhasil maka ditempuh
dengan jalan lain yang sesuai dengan alam demokratis, misalnya secara votimg.
e. Menghargai
potensi setiap individu.
f. Berlangsung
dengan mantap.
Kemantapan kepemimpinan demokratis
dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut:
·
Unit-unit organisasi berjalan lancar, melakukan kegiatan
sesuai dengan fungsi masing-masing.
·
Otoritas didelegasikan kepada para bawahan.
·
Bawahan merasa senang, aman, tentram.
·
Semangat kerja bawahan tinggi, baik ada pimpinan maupun
tidak ada pimpinan.
g. Pimpinan sering
turba (turun ke bawah) melakukan pembinaan dan penyuluhan, yang sekaligus
melakukan pengamatan terhadap hasil yang telah dicapai, serta
kelemahan-kelemahan atau kekurangan dan kesulitan yang dihadapi para bawahan.
6)
Tipe Open Leadership
Sebenarnya tipe open leadership
hampir sama dengan tipe demokratis. Perbedaannya hanya terletak dalam hal
pengambilan keputusan. Tipe demokratis lebih mengutamakan musyawarah untuk
mufakat sehingga musyawarah dijadikan dasar keputusan. Hasil musyawarah menjadi
keputusan pimpinan. Dalam hal ini berbeda dengan tipe open leadership. Pimpinan
memang memberikan kesempatan kepada para bawahan untuk memeberikan saran, tetapi
keputusan tetap ada ditangan pimpinan.
2.4 Syarat-Syarat Kepemimpinan
Syarat-syarat kepemimpinan dibedakan
menjadi 3 (tiga) macam :
1)
Persyaratan Kepemimpinan Pada Umumnya
Yang dimaksud dengan persyaratan
kepemimpinan pada umumnya adalah persyaratan kepemimpinan yang berlaku bagi
pemimpin apa saja. Persyaratan kepemimpinan umum meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Sehat jasmaniah maupun rohaniah
(fisik maupun mental)
b. Bertanggungjawab dan obyektif dalam
sikap, tindakan dan perbuatan. Adil terhadap yang dipimpin.
c. Jujur, yang meliputi :
·
Jujur terhadap diri sendiri,
·
Jujur terhadap atasan,
·
Jujur terhadap bawahan, dan
·
Jujur terhadap sesama pegawai
d. Suka melindungi,
e.
Semangat untuk mencapai tujuan,
f.
Cerdas
g.
Percaya pada diri sendiri,
h.
Mudah dan cepat dalam mengambil
keputusan,
i.
Memiliki kecakapan teknis,
j.
Mempunyai daya tarik,
k.
Berwibawa.
2)
Persyaratan Khusus dalam Hubungannya dengan Ciri-ciri Khusus Masyarakat
Ciri-ciri khusus masyarakat
Indonesia adalah yang berhubungan dengan dasar negara, yaitu Pancasila. Hal ini
berarti kepemimpinan Indonesia harus berlandaskan kepada falsafah Pancasila.
Kepemimpinan yang berlandaskan falsafah Pancasila. Kepemimpinan yang
berlandaskan falsafah Pancasila berisikan azas-azas sebagai berikut:
·
Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu kesadaran akan beragama dan
beriman yang teguh.
·
Hing Ngarsa Sung Tulada, Hing Madya Mangun Karsa, Tutwuri
Handayani, yang artinya:
o
Hing Ngarsa (di depan), Tulada
(teladan, contoh), yang berarti seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat
harus mampu memberi contoh, memberi teladan yang baik kepada para
bawahan/pengikut.
o
Hing Madya (di tengah-tengah), Mangun
Karsa (membangun semangat). Seorang pemimpin harus senantiasa ada
ditengah-tengah para pengikutnya dan mampu membangkitkan semangat para bawahan.
o
Tut Wuri (dari belakang), Handayani
(memberikan dorongan, memberikan pengaruh), yang berarti seorang pemimpin dari
belakang ia harus mampu memberikan dorongan, memberikan pengaruh yang baik
kepada para bawahan.
Falsafah tersebut memberikan
petunjuk bahwa seorang pemimpin tidak harus senantiasa ada di belakang
terus-menerus, tetapi juga di depan, dan ada ditengah-tengah para
bawahan/masyarakat. Dengan cara demikian maka pemimpin benar-benar menyatu
dengan para bawahan/pengikut dalam keadaan atau situasi yang bagaimanapun.
Waspada Purbawisesa. Artinya:
waspada (berawas-awas dan berjaga, tidak lengah), dan Purbawisesa (kekuasaan
sepenuh-penuhnya). Jadi seorang pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya harus
selalu waspada, hati-hati, mau dan mampu mengoreksi diri sendiri dan orang lain
(bawahan).
Ambeg Parameta. Mendahulukan mana
yang dianggap lebih penting. Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin harus
pandai memilih dan menetapkan berbagai macam masalah, dan dari sekian masalah
itu mana yang harus didahulukan untuk mendapat penyelesaian.
Prasaja. Artinya sederhana. Hal ini
berarti bahwa seorang pemimpin harus bersifat sederhana, tidak
berlebihan-lebihan, sederhana dalam tingkah laku.
Satya, yang artinya setia atau
loyal. Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin harus loyal kepada bawahan,
pimpinan dengan pimpinan, atasan yang bersangkutan, dan kepada organisasi yang
dipimpinnya. Loyal kepada organisasi yang dipimpin berarti harus berusaha untuk
mengembangkan, memajukan, mengamankan dari segala macam rongrongan yang datang
dari segenap penjuru, baik yang dilakukan perorangan maupun kelompok
Hemat, berarti tidak boros. Pemimpin
harus mempergunakan dana yang tersedia seefesien dan seefektif mungkin. Ia
harus mampu membatasi penggunaan dana sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar
penting.
Terbuka, yang berarti pemimpin harus
bersedia menerima saran atau kritik yang membangun dari semua pihak. Ia juga
harus berani mempertanggungjawabkan semua tindakannya secara terbuka.
Penerusan, yang berarti seorang
pemimpin harus mempunyai kesadaraan, kerelaan, dan kemauan untuk menyerahkan
tugas dan tanggungjawab kepasa generasi penerusan untuk melanjutkan dan
mewujudkan cita-cita yang ditentukan. Untuk itu seorang pemimpin harus mampu
menyiapkan dan menciptakan kader-kader penerus berkualitas dan dapat
diandalkan.
3)
Persyaratan Khusus yang Berhubungan dengan Jenis Kegiatan atau Pekerjaan
Menurut jenis kegiatan atau
pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemimpin, kepemimpinan dapat
dibedakan menjadi kepemimpinan lini (line leadership), dan kepemimpinan staf
(staf leadership). Persyaratan bagi kepemimpinan lini berbeda dengan
persyaratan kepemimpinan staf karena fungsi lini berbeda dengan fungsi staf.
Meskipun demikian ada beberapa persamaan persyaratan yang harus dimiliki oleh
kedua jenis pimpinan itu, anatara lain:
·
Bersifat ramah tamah, dalam tutur kata, sikap dan perbuatan.
·
Mempunyai intelegensi yang tinggi.
·
Sabar, ulet dan tekun dalam menghadapi masalah.
·
Cepat dan tepat dalam mengambil keputusan.
·
Jujur.
·
Adil, dan
·
Berwibawa.
Persyaratan khusus bagi kepemimpinan
staf akan di jelaskan dalam uraian tentang kepemimpinan staf.
2.5 Teknik Kepemimpinan
Yang dimaksud dengan teknik
kepemimpinan ialah dengan cara bagaimana seorang pemimpin menjalankan fungsi
kepemimpinannya.
Teknik kepemimpinan dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) macam, yaitu teknik kepemimpinan secara umum, dan teknik
kepemimpinan khusus. Teknik kepemimpinan secara umum adalah teknik kepemimpinan
yang berlaku bagi setiap pemimpin, sedang teknik kepemimpinan khusus adalah
teknik kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin yang memimpin suatu
bidang tertentu. Teknik kepemimpinan khusus akan dibicarakan lebih lanjut dalam
uraian tentang kepemimpinan staf.
Teknik
kepemimpinan pada umumnya terdiri dari: (1) teknik kepengikutan, (2) teknik
human relationship, (3) teknik pemberian teladan, semangat dan dorongan.
1)
Teknik Kepengikutan
Teknik kepengikutan adalah teknik
untuk membuat orang-orang suka mengikuti apa yang menjadi kehendak si pemimpin.
Ada beberapa sebab mengapa seseorang mau menjadi pengikut, yaitu:
·
Kepengikutan karena peraturan/hukum yang berlaku.
·
Kepengikutan karena agama.
·
Kepengikutan karena tradisi atau naluri, dan
·
Kepengikutan karena rasio.
Teknik
kepengikutan dapat dijalankan dengan penerangan dan propaganda.
a.
Teknik Penerangan ialah dengan cara memberikan fakta-fakta yang objektif. Fakta
disebut objektif bila fakta-fakta itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,
jelas sumbernya, dan tidak bermaksud mengelabuhi para pengikut untuk menutupi
kesalahan pemimpin. Supaya fakta itu jelas dan berguna maka fakta-fakta itu
harus disampaikan tepat pada waktunya dan disajikan dalam bentuk yang dapat
dengan mudah dan cepat dimengerti. Penyajian fakta-fakta yang demikian
diharapkan akan dapat menimbulkan kesadaraan dan kepuasaan di kalangan para
bawahan sehingga mereka kemudian dengan sukarela mengikuti.
b.
Teknik Propaganda. Teknik propaganda berbeda dengan teknik penerangan. Dalam
teknik penerangan pemimpin berusaha untuk memberika pengertian dan kesadaraan
kepada para bawahan sehingga mereka menjadi pengikut berdasarkan atas
kesadaraan.
Dalam propaganda, seseorang menjadi
pengikut karena merasa terpaksa dan takut. Propaganda merupakan suatu cara
mengubah pikiran orang lain supaya menjadi pengikut dengan cara-cara yang
bersifat negatif, misalnya dengan intimidasi, ancaman, menakut-nakuti, dan
dengan paksaan.
2)
Teknik Human Relationship
Human relationship merupakan
hubungan kemanusiaan yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan, baik kepuasan
jasmaniah. Karena human relations bertujuan untuk mendapatkan kepuasan, teknik
human relations dapat dilakukan dengan memberikan berbagai macam kebutuhan
kepada para bawahan, baik kepuasan psikologis, maupun kepuasan jasmaniah.
3)
Teknik Memberi Teladan, Semangat dan Dorongan
Dengan teknik ini seorang pemimpin
menempatkan diri sebagai pemberi teladan, pemberi semangat, dan sebagai pemberi
dorongan. Cara ini dapat dilaksanakan apabila pemimpin berpegangan kepada
filsafat: Hing ngarsa sung tulada, hing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Dengan cara demikian diharapkan dapat memberikan pengertian dan kesadaraan
kepada para bawahan sehingga mereka mau dan suka mengikuti apa yang menjadi
kehendak pemimpin.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Presiden Soekarno
Presiden
pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa
hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri
Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.
Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari
Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.
Bung Karno adalah Sang
Proklamator, seorang orator ulung yg bisa membangkitkan semangat nasionalisme
Rakyat Indonesia. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yg sangat populis,
bertempramen meledak-ledak, tidak jarang lembut dan menyukai keindahan.
Gaya kepemimpinan yg diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yg juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif & inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara barat (Amerika dan Eropa).
Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan Bangsanya.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di dlm negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-kolonial. Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di Dunia
Gaya kepemimpinan yg diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yg juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif & inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara barat (Amerika dan Eropa).
Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan Bangsanya.
Soekarno termasuk sebagai tokoh nasionalis dan anti-kolonialisme yang pertama, baik di dlm negeri maupun untuk lingkup Asia, meliputi negeri-negeri seperti India, Cina, Vietnam, dan lain-lainnya. Tokoh-tokoh nasionalis anti-kolonialisme seperti inilah pencipta Asia pasca-kolonial. Dalam perjuangannya, mereka harus memiliki visi kemasyarakatan dan visi tentang negara merdeka. Ini khususnya ada dalam dasawarsa l920-an dan 1930-an pada masa kolonialisme kelihatan kokoh secara alamiah dan legal di Dunia
Berikut adalah kelemahan dan kelebihan kepemimpinan
presiden soekarno :
Kelemahan
a. Perekonomian
berjalan tidak mulus disebabkan ketidakstabilan politik dalam negeri yang
dicerminkan oleh beberapa pemberontakan di sejumlah wilayah.
b. Kondisi
perekonomian Indonesia di orde lama hampir mengalami stagflasi selama 1965 –
1966 dengan PDB hanya 0,5 persen dan 0,6 persen
c. Kehancuran
ekonomi Indonesia menjelang akhir periode orde lama juga di dorong oleh
hiperinflasi yang pada tahun 1966 mencapai 650%.
d. Sistem
perekonomian terpengaruh haluan komunis meskipun indonesia berdasrkan haluan
pancasila
Kelebihan
a. Melakukan
kebijakan ekonomi yang di anggap penting dengan mereformasi moneter melalui
devaluasi mata uang nasional yang saat itu masih gulden dan pemotongan uang
sebesar 50 % atas semua uang yang beredar pada kabinet natsi.
b. Berani
menentang kapitalisme yang di anut perusahaan-perusahaan peninggalan
belanda
c. Menasionalisasi/
mengambil alih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan belanda.
3.2 Presiden Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara. Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik. Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Bila
melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas sekali terlihat bahwa mantan
Presiden Soeharto
memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, dominan, dan sentralistis.
Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang dimiliki oleh Almarhum merupakan
suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa awal terpilihnya Soeharto sebagai
Presiden Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat
pergolakan dan situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di
Indonesia masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa
cara memimpin Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan
yang terjadi di Indonesia sudah banyak berubah. Masyarakat semakin cerdas dan
semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model
kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap
mempertahkan kekuasaannya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua
pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru,
gaya kepemimpinannya adalah Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang
otoriter akan menunjukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain
dengan ciri-ciri :
- Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan maratabat mereka.
- Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
- Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sesuai dengan
masalah dan tujuan yang penulis angkat, pengukuran gaya kepemimpinan
Presiden Soeharto di sini diukur dari aspek-aspek: (1) Status kepemimpinan dan
kekuasaan; (2) Orientasi pada hubungan; (3) Orientasi pada tugas; (4) Cara
mempengaruhi orang lain, dan (5) Kepribadian. Maka hasil analisis menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut.
- Status kepemimpinan dan kekuasaan
Presiden
Soeharto digambarkan sebagai seorang Kepala Negara dibanding sebagai
pemimpinan organisasi lainnya. Di media ia hampir tidak pernah
ditampilkan sebagai seorang individu atau pribadi. Kecenderungan ini secara
jelas terlihat dari frekuensi kemunculan berita yang menunjukkan status Presiden
Soeharto ketika menyampaikan pesan-pesan politik adalah sebagai Kepala
Negara. Posisi berikutnya menunjukkan status Presiden Soeharto sebagai
Kepala Pemerintahan, pemimpin dan juga sebagai Ketua Dewan
Pembina Golkar.
Presiden Soeharto
cenderung digambarkan sebagai seorang pemimpin yang menjadi pusat kekuasaan
pemerintah dan negara. Media cenderung menggambarkan Presiden Soeharto sebagai
pemimpin yang lebih suka berada di lokasi pusat kekuasaan, di
Jakarta sebagai ibukota negara. Meskipun ia sering melakukan
perjalanan dinas dan pribadi/keluarga, baik di dalam maupun di luar negeri,
media lebih sering menyajikan liputan tentang aktivitas komunikasi yang
dilakukan Presiden Soeharto di Jakarta.
Penggambaran media
yang demikian diperkuat dengan penggambaran bahwa ketika di Jakarta Presiden
Soeharto lebih sering berada di Istana Negara atau Istana Merdeka dibanding
tempat-tempat lainnya yang dapat berfungsi sebagai simbol kekuasaan dirinya
sebagai pemimpin tertinggi dalam organisasi pemerintahan, negara, dan
organisasi-organisasi lainnya. Bahkan, ia juga digambarkan sebagai pemimpin
yang lebih sering berada di Istana dibanding di Bina Graha, kantor
atau tempat ia biasanya bekerja.
- Orientasi pada hubungan
Dilihat dari
orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung
ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert
(1961) disebut “exploitative-authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis
menunjukkan, dari periode ke periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan
Presiden Soeharto berfungsi menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta
mengundang kritik konstruktif sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis
jumlahnya relatif kecil.
Kecuali pada periode
awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga cenderung
ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga
pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya.
Beliau lebih sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat
pemerintah, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri,
dibanding kepada ketua dan anggota DPR / MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan
dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta pimpinan dan wartawan media
massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto menyampaikan
pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan
tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar
dibanding proporsi berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada
pihak lainnya.
Presiden Soeharto
juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif
dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap
pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri.
Pesan-pesan verbal sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang
disampaikan Presiden Soeharto kepada berbagai pihak lebih banyak berisi
tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap, dan perilaku para pejabat
dan masyarakat yang dipimpinnya
Selain itu
juga Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki
fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Isi
pesan-pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-surut. Pada
periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan pertama
1968-1973, dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan
politik Presiden Soeharto. Namun, pada periode pengamalan dan pematangan
kepemimpinan, yakni selama masa jabatan kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi
gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan kecenderungan ini diimbangi dengan
meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan,
dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak dan akhir
kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi
pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau
respon yang ia berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang
lain.
- Orientasi pada tugas
Potret Presiden
Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering
memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam
setiap periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus
pada lingkup pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi
pesan-pesan politiknya, pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden
Soeharto adalah pembangunan dalam lingkup nasional. Pembangunan lokal Daerah
Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan pembangunan regional Daerah Tingkat I
Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde Baru itu.
Surat kabar juga
menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang memberikan
perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan
diantara keduanya. Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang
orientasinya hanya daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media
massa ia lebih sering ditampilkan sebagai pemimpin yang membicarakan tentang
pembangunan secara keseluruhan, baik daerah perkotaan maupun daerah perdesaan.
Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang memberi perhatian umum
terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan sebagai
pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau
wilayah Timur saja.
Hasil analisis juga
menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai seorang
pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan
sektor-sektor lainnya. Baik pada periode awal, periode pengamalan dan
pematangan, maupun pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik
pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah
ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang pernah dibicarakannya, dua sektor
yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah sektor Hankam, dan
sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media Massa. Topik
yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
- Cara mempengaruhi orang lain
Presiden Soeharto
digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan gaya
kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan
instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Dalam berita
surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan lebih mementingkan
keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian pentingnya hal itu
sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden Soeharto
kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan
pembangunan nasional selalu diprioritaskan.
Selain itu, alasan
yang juga sering dijadikan landasan argumentasi Presiden Soeharto ketika
meminta orang lain untuk mematuhi pesan-pesannya adalah perlunya memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, upaya mempertahankan stabilitas politik, upaya
menciptakan masyarakat adil dan makmur, upaya membangun kehidupan demokrasi,
dan upaya lainnya.
Ketika ia meminta
orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya memilih
kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau
kalimat netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah
(instructive ataucoercive). Kesan yang dapat ditimbulkan dari cara
menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah bahwa pada akhirnya
perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-masing orang
untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan itu.
Meskipun demikian,
penjelasan yang disampaikan Presiden Soeharto umumnya hanya berupa penjelasan
tentang arti kata / istilah, ungkapan, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya.
Ia jarang sekali memberikan penjelasan yang bersifat mendorong penggunaan
logika agar orang lain secara sadar dan sukarela mau menerima pesan-pesan yang
disampaikannya. Kepada orang-orang yang menjadi sasaran pesan-pesannya, ia
jarang memberikan contoh-contoh penerapan pesan, menjelaskan manfaat apabila
pesan itu diikuti, atau menjelaskan akibat apabila pesan itu tidak diikuti.
Tujuan komunikasi yang dilakukan Presiden Soeharto tampaknya hanya agar orang
lain menjadi mengetahui, tetapi tidak sampai pada taraf memahami, mencoba, dan
memutuskan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
- Kepribadian
Menurut penulis
Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang sederhana, tidak suka
menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau
menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam
berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang
dimilikinya.
Apabila ia berusaha
menonjolkan diri sendiri, cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah
mengemukakan pengalaman atau jasa-jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa
dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan dan
orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha menunjukkan jasanya
yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan
musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa
pemberontakan G30S/PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional.
Keberhasilan dan Kegagalan yang Dihasilkan Dari
Gaya kepemimpinan Soeharto
Orde Baru
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
kepemimpinan mantan Presiden Soeharto telah memberikan berbagaai kemajuan dan
juga kemundurun. Hal ini dikarenakan kebijakan yang beliau ambil tergantung
kepada gaya kepemimpinan yang beliau anut. Kekurangan dan kelebihan dari gaya
kepemimpinan Soeharto yaitu:
- Keberhasilan yang Dihasilkan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
- Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
- Kemajuan sektor migas
- Swasembada beras
- Sukses transmigrasi
- Sukses Program KB
- Sukses memerangi buta huruf
- Sukses swasembada pangan
- Pengangguran minimum
- Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan Wajib Belajar
- Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
- Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
- Kegagalan Dari Gaya Kepemimpinan Soeharto
- Politik
- Eksploitasi sumber daya
Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
- Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
Warga keturunan
Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap
sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian
Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas
Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional
karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat
yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat
kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang
Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih
5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan
apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
- Perpecahan bangsa
Di masa Orde Baru
pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media
massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan
bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan
transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura
ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.
Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah
terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap
penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen
anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era
Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di
Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para
transmigrasi.
- Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah.
- Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
4.
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan
program “Penembakan Misterius” (petrus).
Menjadi presiden bukan karena keinginannya. Hanya karena kondisi sehingga ia jadi presiden. Orang yang cerdas tapi terlalu lugu dalam politik. Karena ingin terlihat bagus, ia membuat blunder dalam masalah timor timur.
Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya Habiebi sangat terbuka dalam berbicara tetapi tidak pandai dalam mendengar, akrab dalam bergaul, tetapi tidak jarang eksplosif. Sangat detailis, suka uji coba tapi tetapi kurang tekun dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam penyelengaraan Negara Habiebi pada dasarnya seorang liberal karena kehidupan dan pendidikan yang lama di dunia barat.
Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya, salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, namun terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik.
3.4 Presiden
Abdurrahman Wahid
Seorang kiai yang sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin, dan berkepemimpinan ala LSM.
Seorang kiai yang sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin, dan berkepemimpinan ala LSM.
Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid adalah gaya kepemimpinan Responsif-Akomodatif, yang berusaha untuk mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memihki keabsahan. Pelaksanaan dan keputusan-keputusan yang telah ditetapkan diharapkan mampu menggerakkan partisipasi aktif para pelaksana di lapangan, karena merasa ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau kebijaksanaan.
Beliau ini awalnya memberikan banyak harapan untuk kemajuan Indonesia. Seolah bisa menjadi figur yang bisa diterima oleh berbagai kelompok didalam dan luar negeri. Tapi setelah menjadi presiden, bicaranya ngelantur tidak karu-karuan. Hari ini A, besok B lusa C. Sebagai rakyat aku sendiri ikut capai mikirin Negara di bawah Gus Dur ini. Orang seperti ini yang dianggap 1/2 wali oleh sebagian orang cukup berbahaya untuk memimpin bangsa. Beruntung MPR melengserkannya dari kursi presiden.
Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan. Tetapi dalam hal-hal tertentu megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh Nanggroe Darussalam.
Gaya kepemimpinan megawati yang anti kekerasan itu tepat sekali untuk menghadapi situasi bangsa yang sedang memanas.
Calon yang satu ini merupakan calon
lebih banyak menjual image orang tua beliau, dari pada image dirinya sendiri. Beliau merupakan presidennya
“wong cilik”, memang benar “wong cilik” yang sering kami tanya mengenai hal ini banyak yang memilih beliau karena
beliau mempunyai perhatian yang tinggi kepada mereka dengan menyediakan bahan
pokok murah, namun banyak aset perusahaan negara yang dijual untuk membeli
bahan pokok bagi rakyat. Memang orang yang hanya berfikir hidup, akan merasa
terbantu sekali dengan model kepemimpinan beliau ini. Namun sebagian orang juga
tidak setuju penjualan aset tersebut. kurang dapat memprediksikan gaya
pemerintahan beliau, karena semuanya lebih bergantung kepada anggota kabinet daripada
sosok beliau sendiri.
Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi. Gaya kepemimpinan seperti bukanlah suatu ke1emahan. Seperti dikatakan oleh Frans Seda: "Dia punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya."
Cukup demokratis, tapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya.
Beliau ini presiden pertama yang dipilih oleh rakyat. Orangnya mampu dan bisa menjadi presiden. Juga cukup bersih, kemajuan ekonomi dan stabilitas negara terlihat membaik. Sayang tidak mendapat dukungan yang kuat di Parlemen. Membuat beliau tidak leluasa mengambil keputusan karena harus mempertimbangkan dukungannya di parlemen. Apalagi untuk mengangkat kasus korupsi dari orang dengan back ground parpol besar, beliau keliahatan kesulitan. Sayang sekali saat Indonesia punya orang yang tepat untuk memimpin, parlemennya dipenuhi oleh begundal-begundal oportunis yang haus uang sogokan.
Pembawaan SBY, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada SBY karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra SBY di mata masyarakat.
SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki
keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan
hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang
berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut
pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya,
keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang
mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang
akan diterapkan.
Rahasia utama kepemimpinan adalah
kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya,
tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras
memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.
Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan
dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri
seseorang.Kepemimpinan lahir dari proses
internal (leadership from the inside out).
4.2 SARAN
Sangat
diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa
kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk
memimpin diri sendiri.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh
tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada
pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa
memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh
karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang
memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar